Selasa, 5 Februari 2013

PENYIMPANGAN DAN PENGENDALIAAN SOSIAL

PENGERTIAN PERILAKU MENYIMPANG
a. Robert M Z Lawang
Penyimpangan adalah tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan suatu usaha dari pihak berwenang untuk memperbaiki perilaku orang yang menyimpang atau abnormal tersebut.
b. James Vander Zanden
Penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi.
c. Kartini Kartono
Penyimpangan (deviasi) merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan.
d. Bruce J. Cohen
Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
e. Paul B. Horton
Penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disederhanakan bahwa perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
2. CIRI-CIRI PERILAKU MENYIMPANG
a. Penyimpangan harus dapat didefinisikan
b. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak
c. Penyimpangan relative dan penyimpangan mutlak
d. Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal
e. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan
f. Penyimpangan sosial bersifat adaptif atau menyesuaikan
3. BENTUK-BENTUK PERILAKU MENYIMPANG
a. Berdasarkan kekerapan atau berat-ringannya penyimpangan
1) Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Ciri-cirinya :
a. Bersifat sementara / temporer
b. Gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang
c. Masyarakat masih mentolerir / menerima
Contoh: pegawai negeri yang membolos kerja, banyak minum alkohol pada waktu pesta, siswa yang membolos atau menyontek saat ujian dan pelanggaran lalu lintas.
2) Penyimpangan Sekunder (Secondary Deviation)
Ciri-cirinya :
a. Bersifat permanen / tetap
b. Gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang
c. Masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang tersebut.
Contoh: pembunuhan, perjudian, perampokan dan pemerkosaan.
b. Berdasarkan jumlah pelakunya
1) Penyimpangan Individu
Penyimpangan individu adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Contohnya pencurian yang dilakukan sendiri.
2) Penyimpangan Kelompok
Penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku. Pada umumnya penyimpangan kelompok terjadi dalam sub kebudayaan yang menyimpang yang ada dalam masyarakat. Contohnya gank kejahatan atau mafia.
c. Berdasarkan sifatnya
1) Penyimpangan Positif
Penyimpangan positif adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif karena mengandung unsur inovatif, kreatif, dan memperkaya alternatif. Jadi penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakukan tampaknya menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh seseorang ibu rumah tangga dengan terpaksa harus menjadi sopir taksi karena desakan ekonomi.
2) Penyimpangan Negatif
Penyimpangan negatif adalah penyimpangan yang cenderung bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan berakibat buruk. Dalam Penyimpangan negatif, tidakan yang dilakukan akan dicela oleh masyarakat dan pelakunya tidak dapat ditolerir oleh masyarakat.
4. MEDIA PEMBENTUKAN PERILAKU MENYIMPANG
a. Keluarga
Kepribadian anak akan terbentuk dengan baik bila terlahir dalam lingkungan keluarga yang baik dan sebaliknya. Keluarga merupakan faktor penentu bagi perkembangan atau pembentukan kepribadian seorang anak selanjutnya. Keluarga berfungsi mensosialisasikan nilai-nilai yang baik dalam diri anak-anak. Kepribadian anak akan cenderung negatif apabila terlahir dari keluarga yang kacau yang dibebani berbagai macam permasalahan keluarga seperti orang tua yang sering cekcok, kehilangan orang tua untuk membimbing dan mendidik karena perang, orang tua yang kecanduan minuman keras atau obat bius, pengangguran, bahkan terlibat dalam tindakan kriminalitas serta kemiskinan yang mencekik dan sebagainya. Keluarga semacam ini gagal mensosialisasikan nilai-nilai baik dalam diri anak-anaknya.
b. Lingkungan Tempat Tinggal
Seorang individu yang tinggal dalam lingkungan yang baik, para anggotanya taat beribadah, melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan positif akan mempengaruhi kepribadian individu tersebut untuk menjadi baik. Sebaliknya bila seorang individu hidup dan tinggal dalam lingkungan yang buruk, warga masyarakatnya suka melakukan tindakan kriminalitas seperti perampokan, pencurian,suka menggunakan obat bius dan mengedarkan narkoba, cenderung akan membentuk kepribadian yang buruk atau menyimpang pada diri individu tersebut.
c. Kelompok Bermain
Adakalanya seorang individu memiliki kelompok bermain atau pergaulan di luar lingkungan tempat tinggalnya misalnya di lingkungan sekolah atau luar lingkungan sekolah. Jika individu memiliki kelompok bermain yang positif, suka belajar dan melakukan perbuatan yang baik maka perilakunya cenderung positif. Sebaliknya apabila seorang individu mempunyai kelompok bermain yang negatif maka pola perilakunya cenderung negatif / menyimpang.
d. Media Massa
Media massa baik cetak maupun elektronik dapat memicu maraknya perilaku menyimpang. Misalnya tayangan-tayangan yang berbau pornografi, porno aksi, dan kekerasan membuat seseorang yang menontonnya meniru perilaku menyimpang tersebut.
5. FAKTOR PENYEBAB PERILAKU MENYIMPANG
a. Sosialisasi Nilai-nilai Sub kebudayaan Menyimpang
Di dalam masyarakat terdapat bagian-bagian (sub-sub) atau kelompok-kelompok orang. Setiap kelompok memiliki ciri kebudayaan sendiri, namun merupakan bagian dari keseluruhan masyarakat itu. Inilah yang dimaksud sub kebudayaan. Sub kebudayaan tadi bisa saja merupaka sub kebudayaan yang menyimpang. Misalnya di sebuah lokalisasi pelacuran. Ditempat ini, berzina dianggap sesuatu yang biasa (tidak menyimpang). Tetapi menurut ukuran masyarakat luas hal itu dianggap menyimpang. Seorang anak yang dibesarkan di tempat tersebut tentu juga akan menganut nilai-nilai sub kebudayaan yang menyimpang tadi, karena kebudayaan itulah yang diajarkan kepadanya.
b. Pengaruh lingkungan dan Media Massa
Lingkungan kerja dan teman sepermainan dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Demikian juga dengan penggambaran peristiwa, berita, dan tayangan-tayangan yang menampilkan perilaku menyimpang sangat berpotensi untuk ditiru oleh masyarakat. Hal ini karena mayoritas masyarakat kita belum terbiasa menyeleksi atau menganalisis secara kritis terhadap berbagai informasi yang datang.
c. Sikap mental yang tidak sehat
Sikap itu ditunjukkan dengan merasa tidak bersalah atau menyesal atas perbuatannya, bahkan merasa senang.
d. Ketidaksanggupan menyerap norma
Ketidaksanggupan ini disebabkan karena individu menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga ia tidak sanggup menjalankan peranannya sesuai dengan perilaku yang diharapakan masyarakat.
e. Kegagalan dalam proses sosialisai
Proses sosialisasi bisa dianggap tidak berhasil jika individu tersebut tidak berhasil dalam mendalami norma-norma masyarakat dalam diri anggota keluarga.
f. Ketidakharmonisan dalam keluarga
Orang tua yang sering bertengkar/mempunyai masalah, ayah / ibu mempunyai masalah dengan anaknya, atau sesama anak memiliki masalah menyebabkan ketidaknyamanan di dalam keluarga. Kondisi broken home mendorong mereka untuk mencari pelarian di luar rumah dan kemudian membuat mereka berperilaku menyimpang
g. Pelampiasan rasa kecewa
Seseorang yang mengalami kekecewaan apabila tidak dapat mengalihkan ke hal yang positif , maka ia akan berusaha mencari pelarian untuk memuaskan rasa kecewanya.
h. Dorongan kebutuhan ekonomi
Perilaku menyimpang juga terjadi karena dorongan kebutuhan ekonomi. Sulitnya mencari pekerjaan yang halal sedangkan kebutuhan pokok seperti makan tidak dapat ditunda lebih lama maka mendorong seseorang untuk berperilaku menyimpang.
i. Keinginan untuk dipuji
Seseorang dapat bertindak menyimpang karena keinginan untuk mendapat pujian, seperti memiliki banyak uang, selalu berpakaian mahal dan perhiasan yang mewah, atau gaya hidup yang mewah. Agar keinginan ini terwujud, ia rela melakukan perbuatan menyimpang seperti korupsi, menjual diri, merampok dll.
j. Proses Belajar yang Menyimpang
Hal ini terajadi melalui interaksi sosial dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang. Misalnya seorang anak yang bergaul dengan teman-temannya yang menggunakan obat-obatan terlarang.
k. Adanya Ikatan Sosial yang berlainan
Seorang individu cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang dihargai, dan akan lebih senang bergaul dengan kelompok itu dari pada dengan kelompok lain. Seseorang akan memperoleh pola-pola sikap dan perilaku kelompok tersebut. Dan apabila kelompok ini adalah kelompok yang berperilaku menyimpang, maka dia juga akan ikut berperilaku menyimpang..
6. PERILAKU MENYIMPANG SEBAGAI HASIL PROSES SOSIALISASI YANG TIDAK SEMPURNA
Proses sosialisasi dianggap tidak berhasil jika individu tidak mampu mendalami norma-norma masyarakat agar menjadi bagian dari dirinya. Orang-orang yang demikian tidak memilki perasaan bersalah atau menyesal setelah melakukan pelanggaran norma. Sosialisasi yang dialami seorang individu berjalan tidak sempurna karena materi informasi dan media sosialisasi yang satu dengan yang lain saling bertentangan. Ada kalanya pesan-pesan yang disampaikan agen-agen sosialisasi seperti keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa tidak sepadan atau saling bertentangan satu sama lain. Apa yang diajarkan dalam keluarga mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan yang diajarkan di sekolah.
Proses sosialisasi yang tidak sempurna dapat juga timbul karena cacat bawaan, kurang gizi, gangguan mental ataupun goncangan jiwa. Cacat jasmaniah dapat menyebabkan persepsi-persepsi tetentu atau respon-respon tingkah lakunya menjadi terhambat atau tidak berfungsi lagi, sehingga tingkah lakunya menjadi sangat berbeda dengan tingkah laku orang kebanyakan, dan pribadi orang yang bersangkutan terhambat dalam melaksanakan peranan sosialnya.
7. TEORI-TEORI PENYIMPANGAN SOSIAL
a. Teori Differential Assosiation
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission). Contoh proses menghisap ganja dan homoseksual.
b. Teori Labelling
Teri ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemerd. Ia berpendapat bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer (pertama) lalu oleh masyarakat telah diberikan cap sebagai penyimpang maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder (tahap lanjut) dengan alasan ”kepalang tanggung”. Contohnya seorang yang pernah sekali mencuri dengan alasan kebutuhan, tetapi kemudian oleh masyarakat dijuluki pencuri, maka ia akan terdorong menjadi pencuri bahkan dapat menjadi perampok.
c. Teori Merton
Robert King Merton menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tetapi juga perilaku yang menyimpang. Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu ke arah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Merton juga menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena tidak adanya kaitan antara tujuan dengan cara yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh struktur sosial. Merton mengidentifikasi lima macam adaptasi terhadap situasi, yaitu:
1) Konformitas
Yaitu perilaku mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat. Contoh, seorang siswa ingin memperoleh nilai bagus pada waktu ujian, dia melakukannya dengan belajar yang giat. Nilai bagus merupakan tujuan yang ditentukan masyarakat sedangkan belajar yang giat merupakan cara yang dibenarkan oleh masyarakat.
2) Inovasi
Yaitu perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat. Contoh, seorang siswa ingin memperoleh nilai bagus, tetapi dengan cara mencontek. Nilai bagus merupakan tujuan yang ditentukan masyarakat tetapi mencontek merupakan cara yang dilarang oleh masyarakat.
3) Ritualisme
Yaitu perilaku yang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi masih tetap berpegang pada cara-cara yang telah digariskan oleh masyarakat. Misalnya ritual (upacara) masih diselenggarakan, tetapi maknanya sudah hilang, para siswa yang mengikuti upacara bendera bukan untuk menumbuhkan sikap nasionalisme, tetapi karena takut pada kepala sekolah.
4) Retreatisme
Yaitu perilaku yang meninggalkan, baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya. Contoh: seseorang yang sedang mengalami masalah tetapi tidak dihadapai malah mabuk-mabukan, memakai narkoba dan lain sebagainya.
5) Rebellion
Yaitu penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru. Contoh reformator agama.
d. Teori Fungsi
Menurut Emile Durkheim, keseragaman dan kesadaran moral semua anggota masyarakat tidak dimungkinkan karena setiap individu berbeda satu dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor keturunan, lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, orang yang berwatak jahat akan selalu ada, sehingga kejahatanpun akan selau ada. Durkheim bahkan berpandangan bahwa kejahatan perlu bagi masyarakat, karena dengan adanya kejahatan, moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal. Dengan kata lain, penyimpanagn tetap mempunyai fungsi positif.
e. Teori konflik
1) Teori Konflik Kelas Sosial
Teori ini dikembangkan oleh penganut Karl Marx. Penganut Marx mengemukakan bahwa kejahatan berkaitan erat dengan perkembangan kapitalisme. Perilaku menyimpang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa untuk melindungi kepentingan mereka. Hukum merupakan cerminan kelompok yang berkuasa, begitu pula dengan sistem peradilan pidananya. Oleh karena itu, orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan dan yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat di kalangan orang miskin (kaum proletar). Banyak pengusaha (kaum borjuis) yang melakukan pelanggaran hukum, tetapi tidak diajukan ke pengadilan. Sehingga penyimpangan akan tetap berlangsung selama tidak ada kesamarataan, serta eksploitasi kelas juga masih ada.
2) Teori Konflik Budaya
Apabila dalam masyarakat terdapat beberapa kebudayaan khusus (etnik, agama, suku bangsa, kedaerahan dan kelas sosial), maka akan sulit untuk menemukan adanya kesepakatan nilai dan norma. Hal ini disebabkan karena masing-masing kelompok menjadikan norma budayanya sebagai peraturan resmi. Akibatnya, berbagai norma akan saling bertentangan dan menciptakan kondisi anomie. Anomie yaitu suatu keadaan masyarakat di mana tidak ada seperangkat nilai dan norma yang dipatuhi secara konsisten dan diterima secara luas. Sehingga masyarakat tidak mempunyai pegangan yang mantap sebagai pedoman nilai dan menentukan arah perilaku masyarakat yang teratur.
Pada teori konflik budaya, kelompok masyarakat kelas menengah mempunyai norma budaya yang dominan dan dijadikannya sebagai hukum tertulis, dan orang lain yang termasuk dalam kebudayaan khusus lain dianggap menyimpang. Karena budaya kelas sosial bawah bertentangan dengan budaya dominan, maka mereka dianggap menyimpang. Kaum imigran, kaum minoritas yang hidup dalam dominasi kelompok mayoritas juga akan dianggap menyimpang karena memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kelompok dominan.
f. Teori Biologis
Teori ini berpandangan bahwa seseorang melakukan perilaku menyimpang karena faktor-faktor biologis. Para ahli biologi berpandangan bahwa perilaku menyimpang seperti homoseksual, alkoholisme kronis, dan ganggua mental tertentu disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
1. Melalui gen-gen atau plasma pembawa sifat di dalam keturunan, atau melalui kombinasi dari gen-gen, ataupun disebabkan oleh tidak adanya gen-gen tertentu, yang semuanya menimbulkan penyimpangan tingkah laku
2. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang abnormal, sehingga menyebabkan perilaku menyimpang
3. Melalui pewaris kelemahan konstitusional tertentu, yang mengakibatkan perilaku menyimpang.
Para ahli pendukung teori biologis antara lain Lombroso, Kretscmer, Horton, Von Hetig, dan Sheldon. Mereka melakukan berbagai studi yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai tubuh tertentu lebih cenderung untuk melakukan perbuatan menyimpang. Cesare Lombroso, seorang kriminolog dari Italia, berpendapat bahwa orang jahat mempunyai ciri-ciri ukuran rahang dan tulang-tulang pipi yang panjang, kelianan pada mata yang khas, jari-jari kaki dan tangan relatif besar, serta mempunyai susunan gigi yang abnormal. Sedangkan Sheldon, seorang kriminolog dari Inggris membedakan bentuk tubuh manusia menjadi tiga yaitu:
1. Endomorph (bulat, halus, gemuk)
Orang dengan ciri-ciri tubuh seperti ini terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang karena sangat mudah tersinggung dan cenderung suka menyendiri.
2. Mesomorph (berotot, atletis)
Orang dengan ciri-ciri tubuh seperti ini paling sering melakukan perilaku menyimpang, karena,sering menunjukkan sifat kasar dan bertekad untuk menuruti hawa nafsu atau keinginannya.
3. Ectomorph (tipis, kurus)
Orang dengan ciri-ciri tubuh seperti ini selalu menunjukkan kepasrahan, tetapi apabila terdapat penghinaan-penghinaan yang luar biasa tekanan jiwanya dapat meledak, dan barulah akan terjadi perilaku menyimpang.
8. CONTOH-CONTOH PERILAKU MENYIMPANG
a. Tindakan Kriminal atau Kejahatan
Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Kejahatan adalah bentuk tindakan yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, anti-sosial sifatnya dan melanggar hukum dan undang-undang pidana. Misalnya pembunuhan, pencurian, penganiayaan, korupsi, penculikan dan sebagainya.
Tipe-tipe kejahatan :
a. Kejahatan kerah putih (white collar crime)
Yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau pejabat di dalam menjalankan peranan fungsinya. Golongan ini menganggap dirinya kebal hukum dan sarana-sarana pengendaian sosial lainnya, karena kekuasaan dan keuangan yang dimilikinya. Contoh, korupsi.
b. Kejahatan kerah biru (blue collar crime)
Yaitu kejahatan yang dilakukan golongan strata rendah (masyarakat kelas bawah). Contoh, mencuri ayam.
c. Kejahatan terorganisasi (organized crime)
Yaitu kejahatan yang dilakukan sekelompok penjahat yang secara berkesinambungan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum. Kejahatan ini terkadang melibatkan hubungan antar negara yang disebut kejahatan terorganisasi internasional. Misalnya women’s traficking ( penjualan perempuan ke luar negeri), jaringan narkoba internasional dan lain-lain.
d. Kejahatan tanpa korban (crime without victim)
Yaitu kejahatan yang tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat tindak pidana orang lain. Misalnya berjudi, penyalahgunaan narkoba, mabuk-mabukan dan sebagainya.
e. Kejahatan korporat (corporate crime)
Yaitu kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Misalnya, sebuah perusahaan yang membuang limbah beracun ke sungai yang mengakibatkan penduduk sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.
Untuk mengatasi masalah kejahatan tersebut, selain dengan tindakan yang bersifat preventif, juga dapat dilakukan dengan tindakan yang bersifat represif seperti teknik rehabilitasi. Menurut Cressey, ada dua konsepsi tentang teknik rehabilitasi, yaitu:
a. Menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut, seperti hukuman bersyarat, hukuman kurungan serta hukuman penjara.
b. Suatu usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa (yang tidak jahat) yaitu dengan cara memberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk menguasai bidang-bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
b. Perjudian
Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya. Bentuk perjudian antara lain permainan dadu, permainan kartu Belanda (bridge card), permainan kartu Cina dan domino.
Beberapa cara untuk menanggulangi perjudian antara lain:
a. Mengadakan perbaikan ekonomi nasional secara menyeluruh
b. Adanya keseimbangan antara budget di pusat dan di daerah pinggiran
c. Menyediakan tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat, disertai intensifikasi pendidikan mental dan ajaran-ajaran agama
d. Menurunkan nilai hadiah tertinggi, lalu menambah jumlah hadiah-hadiah hiburan lainnya dalam jumlah yang banyak
e. Larangan praktek judi disertai tindakan-tindakan preventif dan represif secara konsekuen dan tidak setengah-setengah.
c. Penyimpangan Seksual.
a. Hubungan seksual di luar nikah.
Dalam lingkungan masyarakat yang bernorma, hubungan seksual di luar nikah tidak dapat dibenarkan, khususnya norma agama, sosial maupun moral. Contohnya pelacuran dan kumpul kebo.
b. Penyimpangan seksual lain, merupakan akstivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual tidak sewajarnya.
Bentuk-bentuk penyimpangan seksual antara lain :
1) Homoseksual, yaitu perilaku seksual yang cenderung tertarik pada jenis kelamin yang sama atau sejenis (laki-laki dengan laki-laki). Sedangkan lesbian adalah perilaku seksual wanita yang cenderung tertarik sesama wanita.
2) Transeksual, yaitu perilaku seseorang yang cenderung mengubah karakteristik seksualnya. Hal tersebut menyangkut konflik batiniah mengenai identitas yang bertentangan dengan identitas sosial. Contoh laki-laki yang ingin menyerupai perempuan, dan sebaliknya. Biasanya perilaku seksual ini lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial.
3) Sadomasokisme, yaitu perilaku sadisme untuk kepuasan seksual yang diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme merupakan kebalikannya yaitu seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual.
4) Ekshibisionisme, yaitu perilaku seksual yang memperoleh kepuasan seksual dengan cara memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik atau menjerit ketakutan, maka ia akan semakin terangsang. Kondisi tersebut sering terjadi pada pria.
5) Voyeurisme, yaitu perilaku seksual yang memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi bahkan melakukan hubungan seksual. Setelah mengintip, ia melakukan tindakan lebih lanjut dari yang diintipnya.
6) Fetishisme, yaitu perilaku seksual yang disalurkan melalui masturbasi dengan BH, celana dalam, kaos kaki atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksualnya. Namun, ada juga yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangan tersebut.
d. Kenakalan Anak (Juvenille Deklinquency)
Kenakalan anak dapat menimbulkan gap generation sebab anak yang diharapkan sebagai kader penerus bangsa tergelincir ke arah perilaku yang negatif. Kenakalan atau delinquency menurut Prof.DR. Fuad Hasan adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak/remaja, yang bila dilakukan oleh orang dewasa dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Pendapat lain mengatakan perbuatan deliquency adalah semua perbuatan penyelewengan norma-norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat yang dilakukan oleh anak muda.
Untuk menentukan kenakalan anak ternyata belum ada batas yang tegas di berbaghai negara. Contoh:
1) Di Inggris batas usia yang digunakan adalah 8 tahun ke bawah.
2) Di Amerika 16 tahun sampai dengan 18 tahun.
3) Di Indonesia menurut KUHP pasal 45-47 menyebutkan bahwa anak yang belum dewasa adalah anak yang umurnya belum 16 tahun.
4) Secara psikologis batas usia kenakalan anak lebih condong pada usia perbatasan (14-18tahun). Perbuatan-perbuatan kenakalan remaja dapat berupa perusakan tempat atau fasilitas umum, penggunaan obat-obat terlarang, pencurian, perkelahian, atau tawuran dan sebagainya.
Secara fenomenologis, gejala kenakalan remaja tampak dalam masa pubertas. Pada masa tersebut jiwanya masih dalam keadaan labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang negatif.
Penyebab kenakalan anak tersebut antara lain :
1) Lingkungan keluarga yang tidak harmonis (broken home)
2) Situasi yang menjemukan dan membosankan.
3) Lingkungan masyarakat yang tidak menentu bagi prospek kehidupan masa mendatang, seperti lingkungan kumuh dan penuh kejahatan.
e. Penyalahgunaan NAZA / Narkoba
NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adictif) dan Narkoba (Narkotika dan Obat-obat terlarang) adalah dua istilah yang sama. Zat adictif meliputi semua obat-obatan yang dapat menimbulkan efek ketergantungan. Narkotika adalah zat-zat kimia yang digunakan dalam kedokteran untuk membius pasien. Narkotika yang tidak digunakan sebagaimana mestinya atau secara berlebih-lebihan dapat merusak organ-organ tubuh sehingga tidak berfungsi sempurna. Bahkan susunan saraf yang berfungsi sebagai pengendali daya pikir ikut rusak. Akibatnya, fikiran menjadi tidak rasional dan sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga perilaku yang ditampilkan cenderung bertentangan dengan nilai dan norma kesusilaan.
Penggunaan NAZA untuk tujuan semestinya bukan masalah tetapi penggunaan di luar tujuan itu merupakan bentuk penyimpangan.
Menurut Dr. Graham Baliane kaum remaja mudah terjerumus pada penggunaan narkotika karena faktor-faktor sebagai berikut:
1) Ingin membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan berbahaya seperti kebut-kebutan, berkelahi dan mengancam.
2) Ingin menunjukkan tindakan menentang orang tua yang otoriter atau siapa saja yang dianggap tidak sepaham dengan dirinya.
3) Ingin melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman emosional.
4) Ingin mencari dan menemukan arti hidup (yang semu).
5) Ingin mengisi kekosongan dan kebosanan (tidak memiliki aktivitas di luar sekolah).
6) Ingin menghilangkan kegelisahan.
7) Solidaritas di antara kawan.
8) Ingin tahu dan iseng.
f. Penyimpangan dalam bentuk Gaya Hidup
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup antara lain adalah sikap arogansi dan eksentrik. Sikap arogansi antara lain kesombongan terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kekayaan, kekuasaan dan kepandaian. Sedangkan sikap eksentrik adalah perbuatan yang menyimpang dari biasanya sehingga dianggap aneh, seperti anak laki-laki memakai anting-anting dan berambut gondrong.
g. Sadisme terhadap Anak
Berdasarkan teori psikologi sosial seseorang mampu melakukan tidakan kekerasan kekerasan dan sadisme karena merasa frustasi dan kecewa yang dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi. Sadisme terhadap anak merupakan bentuk perilaku menyimpang, karena tidak sesuai dengan norma-norma, baik norma agama, sosial, maupun hukum. Sebuah keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung dan mencari kasih sayang tetapi justru malah menjadi neraka yang menakutkan.
Menurut Aan Prayogo di negara-negara berkembang lebih banyak penganiayaan fisik dan penelantaran anak, sedangkan di negara-negara maju lebih banyak penganiayaan seksual dan emosional.
Bentuk-bentuk penganiayaan emosional yaitu :
a. Rejecting, yaitu orang tua menunjukkan perilaku menolak anak-anak yang tidak diharapkan, meninggalkan anak, memanggil nama anak dengan sebutan yang tidak berharg, tidak berbicara pada anak, dan bahkan mengambinghitamkan anak sebagai penyebab masalah keluarga.
b. Ignoring, yaitu orang tua yang tidak menunjukkan kedekatannya pada anak, dan tidak menyukai anak-anak atau orang tua hanya secara fisik saja bersama anak-anaknya.
c. Terorizing, yaitu orang tua oyang mengkritik secara tidak proporsional, menghukum, mengolok-olok, dan mengharapkan anak memiliki kemampuan seperti orang yang diinginkan orang tua.
d. Isolating, yaitu orang tua yang tidak menginginkan anaknya beraktivitas secara proporsional bersama rekan-rekan sebayanya.
e. Corrupting, yaitu orang tua mengajarkan yang salah (melanggar norma) pada anaknya.
Sebagian besar pelaku penganiayaaan terhadap anak adalah orang yang sangat dipercaya dan berpengaruh terhadap anak.
9. SIKAP ANTISOSIAL
Menurut Kathleen Stassen Berger, sikap antisosial sering dipandang sebagai sikap dan perilaku yang tidak mempertimbangkan penilaian dan keberadaan orang lain ataupun masyarakat secara umum di sekitarnya. Suatu tindakan antisosial termasuk dalam tindakan sosial yang berorientasi pada keberadaan orang lain atau ditujukan kepada orang lain, meskipun tindakan-tindakan tersebut memiliki makna subyektif bagi orang-orang yang melakukannya. Tindakan-tindakan antisosial ini sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat luas, sebab pada dasarnya si pelaku tidak menyukai keteraturan sosial (social order) yang diinginkan oleh sebagian besar anggota masyarakat lainnya.
Berdasarkan sifatnya, tindakan antisosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tindakan antisosial yang dilakukan secara sengaja
Tindakan ini dilakukan secara sadar oleh pelaku, tetapi tetap tidak mempertimbangkan penilaian orang lain terhadap tindakannya tersebut. Misalnya vandalisme, grafiti pada tembok rumah orang lain dan sebagainya.
b. Tindakan antisosial karena tidak peduli
Tindakan ini dilakukan karena ketidakpedulian si pelaku terhadap keberadaan masyarakat di sekitarnya. Misalnya, membuang sampah di sembarang tempat, ngebut ketika berkendara dan sebagainya.
Tindakan antisosial tidak selalu digolongkan sebagai tindak kriminal dan berakibat pada pemenjaraan si pelaku. Ada beberapa tindakan antisosial yang tidak langsung merugikan orang lain, misalnya menarik diri atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat. Namun, sebagian besar tindakan antisosial merupakan tindakan yang melanggar norma dan merugikan orang lain.
Faktor yang sangat memengaruhi sikap antisosial adalah usia dan pendidikan. Umumnya, sikap antisosial akan berkurang seiring dengan makin dewasanya usia seseorang. Seiring dengan perkembangan mental dan kecerdasannya, saat makin dewasa, seseorang dapat membedakan tindakan yang baik (sesuai norma-norma sosial) dan tindakan yang buruk (tidak sesuai dengan norma). Namun, jika hingga usia dewasa seseorang masih melakukan tindakan-tindakan yang buruk, ia memiliki kelainan yang disebut kepribadian antisosial.
Soerjono Soekanto mencatat ada tiga istilah yang berkaitan dengan sikap antisosial, yaitu:
a. Antikonformitas (rebellion)
Yaitu suatu pelanggaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai sosial yang disengaja oleh individu atau sekelompok orang. Misalnya mencuri, membuat keributan, membunuh, dan mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat.
b. Aksi antisosial
Yaitu suatu aksi yang menempatkan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok di atas kepentingan umum. Misalnya, membunyikan radio dengan volume yang sangat keras sehingga mengganggu ketenangan orang lain, memanipulasi keuangan organisasi untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, tidak mau ikut gotong royong bersama warga sekitar, dan lain-lain.
c. Antisosial grudge
Yaitu rasa sakit hati atau dendam terhadap masyarakat atau terhadap aturan sosial tertentu sehingga menimbulkan perilaku menyelewengan. Sikap ini disebut pula dendam anti sosial. Misalnya, minum-minuman keras atau penyalahgunaan narkoba karena merasa kurang dihargai oleh masyarakat sekitarnya, melakukan kekerasan rumah tangga karena frustasi dan kecewa terhadap norma-norma sosial yang mengatur upaya pemenuhan kebutuhan.
Tindakan antisosial dapat ditemukan dalam banyak wujud. Tetapi pada umumnya tindakan antisosial digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Dilakukan di jalan
Tindakan antisosial ini dilakukan di jalan, sehingga pada akhirnya menimbulkan gangguan bagi masyarakat di sekitar atau yang melintasi jalan tersebut. Misalnya, membuang sampah sembarangan, melanggar rambu lalu lintas, intimidasi, mabuk, meminta-minta, pelacuran dan sebagainya.
b. Dilakukan oleh tetangga
Tetangga yang mengganggu dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya. Mereka dapat merusak kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya. Misalnya, membunyikan radio dengan sangat keras sehingga mengganggu tetangga sekitar.
c. Dilakukan terhadap lingkungan sekitar
Tindakan ini berdampak rusaknya lingkungan alam, fasilitas umum dan benda-benda lain di sekitarnya. Selain mengganggu keamanan, kenyamanan dan kelancaran kegiatan masyarakat, upaya perbaikannyapun memakan biaya tang tidak sedikit. Misalnya, orang yang mencoret-coret dan merusak telepon umum, bus kota atau bahkan tembok dan meja kelas. Hal ini mengganggu kepentingan orang-orang yang mempunyai keperluan untuk menggunakannya.

  PENGENDALIAN SOSIAL

1. PENGERTIAN PENGENDALIAN SOSIAL
a. Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang menyimpang.
b. Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah segala proses baik direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
c. Bruce C. Cohen
Pengendalian sosial adalah cara-cara atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak-kehendak kelompok atau masyarakat luas tertentu.
Tujuan pengendalian sosial adalah :
a. agar masyarakat mau mematuhi norma-norma sosial yang berlaku, baik dengan kesadaran sendiri mapun dengan paksaan.
b. agar dapat mewujudkan keserasian dan ketentraman dalam masyarakat.
c. bagi orang yang melakukan penyimpangan diusahakan agar kembali mematuhi norma-norma yang berlaku.
2. JENIS-JENIS LEMBAGA PENGENDALIAN SOSIAL
Jenis-jenis lembaga pengendalian sosial antara lain :
a. Lembaga Kepolisian
Lembaga Kepolisian merupakan lembaga formal yang sejak awal dibentuk dalam rangka mengawasi semua bentuk penyimpangan terhadap hukum yang berlaku.
Polisi adalah lembaga yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tugas polisi sesuai dengan UU No. 28 tahun 1997 adalah:
b. Sebagai alat negara penegak hukum, memelihara serta meningkatkan tertib hukum
c. Sebagai pengayom, memberikan perlindungan dan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan
d. Bersama-sama dengan segenap komponen pertahanan keamanan negara lainnya, membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat
e. Membimbing masyarakat demi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
b. Lembaga Kejaksaan
Merupakan lembaga formal yang bertugas sebagai penuntut umum, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum berdasarkan tertib hukum yang berlaku.
Pekerjaan lembaga kejaksaan merupakan tindak lanjut dari lembaga kepolisian yang menangkap dan menyidik pelaku-pelaku pelanggaran untuk menuntut bentuk pelanggarannya dalam rangka menciptakan keadilan masyarakat.
c. Lembaga Pengadilan
Merupakan lembaga formal yang menjadi pengayom sekaligus memberikan rasa keadilan pada masyarakat.
Tugas lembaga pengadilan antara lain:
1. memeriksa kembali hasil penyidikan dari kepolisian
2. menindaklanjuti tuntutan dari jaksa terhadap suatu kasus pelanggaran.
3. mempersidangkan setiap kasus pelanggaran terhadap norma-norma hukum, baik perdata maupun pidana sesuai dengan hukum masing-masing.
Bentuk sanksi yang dijatuhkan lembaga pengadilan antara lain:
1. denda
2. hukuman kurungan sementara
3. hukuman kurungan seumur hidup
4. hukuman mati
Sanksi dijatuhkan berdasarkan penelitian dalam persidangan secara komprehensif menurut kadar kesalahan yang dilakukan oleh si Pelanggar.
d. Lembaga Adat
Merupakan lembaga nonformal yang menangani pelanggaran terhadap norma-norma adat, mempengaruhi dan mengatur tata kelakuan warga masyarakat.
Misalnya pelanggaran terhadap :
Ø adat perkawinan
Ø adat kekerabatan
Ø adat pembagian warisan
Ø adat-adat ritual
Ø tradisi-tradisi khusus yang dipertahankan oleh masing-masing anggota masyarakat.
Lembaga-lembaga adat terdiri dari:
Ø tokoh-tokoh adat
Ø orang-orang tua
Ø pemuka masyarakat
Pemimpin-pemimpin adat disebut pemimpin nonformal karena keberadaan mereka bukan berdasaarkan otoritas yang diberikan oleh penguasa negara, melainkan otoritasnya diberikan langsung oleh masyarakat yang dipimpinnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan.
e. Tokoh-tokoh Masyarakat
Merupakan pengendalian sosial nonformal yang dilakukan oleh para pemuka masyarakat yang mempunyai pengaruh ataupun kharisma untuk mengatur berbagai kegiatan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan panutan sekaligus pengendali yang dipatuhi oleh warga masyarakat. Dengan demikian sistem ketertiban yang ada di dalam masyarakat tersebut sangat ditentukan oleh peranan tokoh-tokoh masyarakat.
f. Tokoh Agama
Tokoh agama adalah orang yang mempunyai pandangan luas dalam suatu agama dan menjalankan pengaruhnya sesuai dengan pemahaman tersebut. Yang termasuk tokoh agama adalah pendeta, biksu, ustadz, pastor, kyai, dan brahmana. Tokoh agama ini sangat berpengaruh di lingkungannya karena nilai-nilai dan norma-norma yang ditanamkannya berkaitan dengan perdamaian, sikap saling mengasihi, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menghormati sesama manusia, serta berbagai kebaikan lainnya.
g. Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peranan dalam pengendalian sosial. Guru-guru senantiasa mendidik dan menegur murid agar mau menaati peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Apabila ada murid yang melanggar, guru memiliki kewajiban untuk memberikan sanksi kepada murid tersebut.
h. Keluarga
Setiap orang tua pasti mengendalikan perilaku anak-anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dengan cara mendidik, menasehati dan turut mensosialisasikan nilai dan norma yang ada.
Berbagai pengendalian sosial telah dilakukan namun penyimpangan perilaku tetap ada. Menurut Bruce C. Cohen hal itu bisa terjadi karena faktor berikut :
a. Adanya perubahan norma dari suatu periode ke periode waktu yang lain.
b. Tidak ada norma yang bersifat mutlak yang bisa digunakan untuk menentukan benar tidaknya kelakuan seseorang.
c. Individu yang tidak mematuhi norma sosial disebabkan karena mereka mengamati orang-orang lain yang tidak mematuhi, atau karena mereka tidak pernah dididik untuk mematuhinya.
d. Adanya individu yang belum mendalami norma sosial.
e. Adanya individu-individu yang kurang yakin akan kebenaran atau kebaikan suatu norma sosial.
f. Terjadi konflik peran dalam diri individu karena ia menjalankan beberapa peran yang menghendaki corak yang berbeda.
Namun demikian pengendalian sosial harus tetap berlanjut untuk meminimalisir penyimpangan-penyimpangan di dalam masyarakat.
3. SIFAT-SIFAT PENGENDALIAN SOSIAL
a. Pengendalian Sosial Preventif
Yaitu usaha yang dilakukan sebelum terjadi pelanggaran.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku menyimpang. Contoh, memberikan nasihat kepada anak.
b. Pengendalian Sosial Represif
Pengendalian sosial yang dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran dan supaya keadaan pulih seperti sedia kala. Contohnya orang yang melanggar peraturan lalu lintas ditilang dan dipersidangan kemudian dikenai denda.
c. Pengendalian Sosial Gabungan
Merupakan gabungan dari pengendalian represif dan preventif. Tujuannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus memulihkan kembali keadaan semula jika telah terjadi penyimpanga (represif) sehingga perilaku menyimpang tidak sempat merugikan pelaku yang bersangkutan maupun orang lain.
Misalnya, diberlakukan piket-piket di sekolah yang dimaksudkan untuk mengawasi dan mencegah siswa agar tidak bolos pada jam sekolah (preventif). Meskipun pengawasan tersebut dilakukan tetap saja terdapat siswa yang membolos. Maka tindakan represif dapat dilakukan untuk mengembalikan penyimpangan itu ke keadaan normal dengan cara mengenakan sanksi atau hukuman kepada siswa tersebut sesuai dengan perat uran yang berlaku.
.
4. CARA PENGENDALIAN SOSIAL
a. Pengendalian Sosial Persuasif
Dilakukan melalui pendekatan dengan mengajak atau membimbing agar masyarakat mematuhi norma-norma yang ada, tanpa ada kekerasan (dengan cara sosialisasi). Pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara :
Ø Lisan, yaitu dilakukan dengan mengajak orang mentaati aturan dengan berbicara langsung dengan bahasa lisan (verbal). Contoh penyuluhan dari pihak kepolisian tentang bahaya narkoba.
Ø Simbolik, yaitu dapat dilakukan melalui spanduk, tulisan, dan iklan layanan masyarakat. Contoh spanduk-spanduk yang mengajak masyarakt untuk menjauhi kekerasan serta menjaga persatuan dan kesatuan.
b. Pengendalian Sosial Koersif
Bersifat memaksa atau menekankan pada tindakan yang menggunakan kekuatan fisik agar anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Upaya ini dilakukan setelah cara persuasif tidak berhasil.
Contoh: Gerobak pedagang kaki lima yang terpaksa diangkut oleh trantib karena telah melanggar Perda dan telah diperingatkan berkali-kali.
Diantara cara paksaan antara lain:
1. Kompulsi / Compulsion
Compulsion merupakan pengendalian sosial dengan situasi yang diciptakan sedemikian rupa, sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang menghasilkan kepatuhan scara tidak langsung.
2. Pervasi
Yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara menyampaikan nilai atau norma secara berulang-ulang dan terus-menerus dengan harapan nilai dan norma tersebut melekat dalam jiwa seseorang sehingga akan terbentuk sikap yang diharapkan. Misalnya, bahaya narkoba yang disampaikan kepada remaja melalui media massa baik cetak maupun elektronik secara berulang-ulang dan terus-menerus.
5. PENGENDALIAN SOSIAL BERDASARKAN RESMI ATAU TIDAKNYA
a. Pengendalian Formal
Menurut Horton dan Hunt, yaitu cara pengendalian sosial yang dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang juga memiliki peraturan-peraturan resmi. Peraturan-peraturan yang dihasilkan lembaga-lembaga ini umumnya tertulis dan sudah distandardisasi. Pengendalain ini dilakukan melalui:
1. Hukuman Fisik
Model pengendalian ini dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang diakui oleh semua lapisan masyarakat, seperti kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan yang lainnya.
2. Lembaga Pendidikan
Dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah, seseorang diarahkan perilakunya agar sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Melalui pendidikan, seseorang belajar hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan (kognitif), mengenai sikap yang meliputi nilai, norma, etika dan seni (afektif), serta ketrampilan-ketrampilan yang menunjang agar dia mampu berperilaku wajar (psikomotorik). Pendidikan merupakan pengendalian sosial secara sadar (terencana) dan berkesinambungan untuk mengarahkan agar terjadi perubahan-perubahan positif dalam perilaku seseorang melalui proses sosialisasi agar perilaku seseorang tidak menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.
3. Lembaga Keagamaan :
Dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kebenaran yang suci menurut penganutnya masing-masing. Perbuatan-perbuatan yang arif, bijaksana, dan pengabdian terhadap Tuhan adalah ajaran pokok pada setiap ajaran agama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama yang taat akan mengakui kebenaran ajaran agamanya dan mejadikan ajaran agamanya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Jika melanggar ajaran agamanya ia akan merasa berdosa, dan akan berusaha bertobat.
b. Pengendalian Informal
1. Gosip atau desas desus
Yaitu berita yang menyebar secara cepat dan tidak berdasarkan kernyataan. Biasanya terjadi apabila terjadi kritik sosial secara terbuka tidak dapat dilontarkan. Dengan gosip tersebut individu yang berperilaku menyimpang akan merasa malu dan bersalah sehingga akan berhati-hati dalam bertindak.
2. Ejekan
Adalah tindakan membicarakan seseorang dengan menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, atau kata-kata yang berlebihan dan bermakna negatif, kadang-kadang digunakan kata-kata yang artinya berlawanan dengan yang dimaksud.
3. Celaan
Merupakan tindakan kritik atau tuduhan terhadap suatu pandangan, sikap, dan perilaku yang tidak sejalan (tidak sesuai) dengan pandangan, sikap, dan perilaku anggota kelompok pada umumnya. Celaan lebih mudah dimengerti oleh seseorang karena diekspresikan dengan ucapan, protes, atau kritik yang terbuka dan langsung menuju ke sasaran.
4. Ostrasisme (pengucilan)
Yaitu keadaaan di mana seseorang anggota masyarakat walaupun diperbolehkan bekerjasama atau dibiarkan hidup dan bekerja dalam kelompok masyarakat tetapi dia tidak diajak berkomunikasi. Tujuannya agar anggota masyarakat yang bersangkutan atau anggota masyarakat yang lainnya tidak melakukan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku.
5. Fraudulens : pengendalian sosial dengan jalan minta bantuan kepada pihak lain yang dianggap dapat mengatasi masalah, atau istilah lainnya adalah meminta beking kepada pihak lain.
6. Intimidasi
Dilkukan dengan cara menekan, memaksa, mengancam, atau manakut-nakuti sehingga seseorang tidak berani berperilaku menyimpang atau pelaku perilaku menyimpang mau mengakui perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi.
6. PERWUJUDAN PENGENDALIAN SOSIAL
Menurut Soerjono Soekanto perwujudan pengendalian sosial adalah:
a. Pemidanaan
Standar atau patokannya adalah suatu larangan yang apabila dilanggar, akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan seluruh kelompok masyarakat dilanggar, sehingga inisiatif datang dari seluruh anggota kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu).
b. Kompensasi
Standard an patokannya adalah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan cidera janji. Sehingga ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang.
c. Terapi
Pada terapi, korban mengambil inisiatif sendiri untuk memperbaiki dirinya dengan bantuan pihak-pihak tertentu, misalnya pada kasus penyalahgunaan obat bius (narkoba), di mana korban kemudian sadar dengan sendirinya.
d. Konsiliasi
Pada konsiliasi, masing-masing pihak yang bersengketa mencari upaya untuk menyelesaikannya, baik secara kompromis ataupun dengan mengundang pihak ketiga.
7. POLA UMUM PENGENDALIAN SOSIAL
a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
b. Pengendalian kelompok terhadap individu
c. Pengendalian individu terhadap individu
d. Pengendalian individu terhadap kelompok
8. FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Ada beberapa fungsi pengendalian sosial menurut Koentjaraningrat, yaitu:
a. Mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma sosial
Penanaman keyakinan terhadap norma sosial yang baik sangat diperlukan dalam rangka keberlangsungan tatanan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Melalui lembaga pendidikan sekolah dan lembaga pendidikan keluarga.
Melalui lembaga-lembaga ini seorang anak diarahkan untuk meyakini norma-norma sosial yang baik.
2. Sugesti sosial
Dilakukan dengan mempengaruhi alam pikiran seseorang melalui cerita-cerita dongeng maupun kisah-kisah nyata dari tokoh-tokoh terkenal.
3. Menonjolkan kelebihan norma-norma tertentu dibandingkan dengan norma-norma pada masyarakat lainnya.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma
Imbalan di sini mulai berupa pujian dan penghormatan hingga pemberian hadiah (reward) yang berupa materi. Pemberian imbalan ini bertujuan agar anggota masyarakat tetap melakukan perbuatan yang baik dan senantiasa memberikan contoh yang baik kepada orang lain di sekitarnya.
c. Mengembangkan rasa malu
Setiap anggota masyarakat memiliki ”rasa malu” yang ukurannya berbeda-beda. Budaya malu berkenaan dengan ’harga diri’. Harga diri akan turun jika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar norma- norma sosial di dalam suatu masyarakat. Masyarakat akan sangat antusias mencela setiap anggotanya yang melakukan pelanggaran terhadap norma. Bila setiap perbuatan melanggar norma dicela, maka dengan sendirinya akan timbul ”budaya malu” dalam diri seseorang.
d. Mengembangkan rasa takut
Perasaan takut akan mengarahkan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang dinilai mengandung resiko. Dengan demikian, orang akan berkelakuan baik dan taat pada tata kelakuan atau adat-istiadat sebab sadar bahwa perbuatan yang menyimpang dari norma-norma itu akan berakibat tidak baik bagi dirinya maupun orang lain di sekitarnya.
e. Menciptakan sistem hukum
Sistem hukum merupakan aturan yang disusun secara resmi dan disertai aturan tentang ganjaran atau sanksi tegas yang harus diterima oleh sesorang yang melakukan penyimpangan (pelanggaran).
9. AKIBAT TIDAK BERFUNGSINYA LEMBAGA PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilakukan secara :
a. Internal
Pengendalian sosial yang dilakukan oleh komponen masyarakat itu sendiri di bawah koordinasi pemuka adat dan tokoh masyarakat dan dimulai dari pengendalian diri dari tiap-tiap individu anggota masyarakat, serta pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pembudayaaan nilai dan norma dari generasi tua kepada generasi muda.
Apabila pengendalian sosial secara internal ini berhasil maka sesungguhnya pengendalian sosial tidak memerlukan aparat formal seperti polisi, kejaksan , dan pengadilan. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat primitif.
b. Eksternal
pengendalian sosial yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal seperti kepolisian kejaksaan dan pengadilan dengan berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku, baik perdata maupun pidana.
Pada masyarakat modern terutama yang majemuk pengendalian sosial secara internal sulit untuk menjamin ketertiban. Pengendalian sosial eksternal lebih dipatuhi karena sifatnya tegas dan jelas dengan sanksi-sanksi yang memberatkan.
Komponen penting bagi terwujudnya ketertiban dalam masyarakat:
a. Adanya norma-norma yang memadai, dalam arti norma-norma yang sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat.
b. Adanya aparat penegak hukum yang konsisten secara ideologi dan mempunyai tekad untuk mengabdikan diri dalam setiap upaya penegakan hukum.
c. Adanya kesadaran dari seluruh warga masyarakat untuk berlaku tertib dan menjunjung tinggi hukum.
Lembaga pengendalaian sosial belum tentu melaksanakan fungsinya dengan baik. Bentuk-bentuk nyata kejadian dalam masyarakat yang merupakan akibat langsung dari tidak berfungsinya lembaga-lembaga pengendalian sosial antara lain :
a. Tidak adanya kepastian hukum
b. Kepentingan masyarakat sulit untuk dipenuhi
c. Sering terjadi konflik
d. Munculnya komersialisasi hukum, jabatan dan kekuasaan.
e. Munculnya sindikat-sindikat kejahatan yang mempunyai kepentingan khusus.
Di dalam masyarakat terdapoat rantai sistem penciptaan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Apabila sistem itu tidak berfungsi maka akibatnya di dalam masyarakat terdapat kekacauan-kekacauan karena banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat dilakukan terapi sosial sebagai berikut :
a. Memperbaiki perangkat hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, dan peraturan pelaksana lainnya.
b. Melakukan revitalisasi aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang dimaksud dengan revitalisasi adalah penggantian, pembinaan serta pengawasan-pengawasan yang lebih intensif terhadap semua bentuk kegiatan hukum.
c. Melakukan usaha-usaha pembudayaan tertib sosial yang di dalamnya terdapat kepatuhan terhadap norma kesusilaan, kesopanan, adat, norma agama, dan norma hukum.

1 ulasan:

  1. Harrah's Lake Tahoe Casino and Hotel - Mapyro
    Harrah's Lake Tahoe Casino 하남 출장마사지 and Hotel 청주 출장안마 is located 군포 출장마사지 in Stateline, Nevada and is 경주 출장안마 close to Harrah's Lake Tahoe Casino and Hotel. Rating: 4.4 · ‎32 reviews 원주 출장마사지

    BalasPadam